Musim dingin yang beku membuat tulang-tulangku terasa ngilu. Aku nyaris tidak kuat dengan keadaan sel yang sangat menyiksa. Tanpa disiksapun musim dingin dalam sel gelap, pengap, basah dan berbau pesing itu sangat menyiksa. Seluruh sumsum tulang terasa pedih bernanah. Aku memasuki hari-hari yang sangat berat.
Suatu sore, satu jam sebelum buka (sel penjara), tiga hari menjelang hari raya Idul Fitri Aisha menjenguk bersama paman Eqbal, dia tampak terpukul melihat keadaanku yang sangat mengenaskan. Menjalani musim dingin dengan tanpa pelindung tubuh yang cukup telah membuat seluruh persendianku kaku. Selama ini aku nyaris tidak pernah tidur kecuali dengan posisi jongkok, tangan memegang kedua kaki erat-erat. Beberapa kali aku merasa sangat tersiksa bagaikan orang yang sedang sekarat.
“Suamiku, izinkanlah aku melakukan sesuatu untukmu!” Kata Aisha dengan mata berkaca-kaca.
“Apa itu?”
“Beberapa waktu yang lalu Magdi mengatakan harapan kau bisa dibebaskan sangat tipis sekali. Maria masih juga koma. Mungkin hanya mukjizat yang akan menyadarkannya. Magdi berseloroh, jika punya uang untuk diberikan pada keluarga Noura dan pihak hakim mungkin kau bisa diselamatkan. Kalau kau mengizinkan aku akan bernegosiasi dengan keluarga Noura. Bagiku uang tidak ada artinya dibandingkan dengan nyawa dan keselamatanmu.”
“Maksudmu menyuap mereka?”
“Dengan sangat terpaksa. Bukan untuk membebaskan orang salah tapi untuk membebaskan orang tidak bersalah!”
“Lebih baik aku mati daripada kau melakukan itu!”
“Terus apalagi yang bisa aku lakukan? Aku tak ingin kau mati. Aku tak ingin kehilangan dirimu. Aku tak ingin bayi ini nanti tidak punya ayah. Aku tak ingin jadi janda. Aku tak ingin tersiksa. Apalagi yang bisa aku lakukan?”
“Dekatkan diri pada Allah! Dekatkan diri pada Allah! Dan dekatkan diri pada Allah! Kita ini orang yang sudah tahu hukum Allah dalam menguji hamba-hamba-Nya yang beriman. Kita ini orang yang mengerti ajaran agama. Jika kita melakukan hal itu dengan alasan terpaksa maka apa yang akan dilakukan oleh mereka, orang-orang awam yang tidak tahu apa-apa. Bisa jadi dalam keadaan kritis sekarang ini hal itu bisa jadi darurat yang diperbolehkan, tapi bukan untuk orang seperti kita, Isteriku. Orang seperti kita harus tetap teguh tidak melakukan hal itu. Kau ingat Imam Ahmad bin Hambal yang dipenjara, dicambuk dan disiksa habis-habisan ketika teguh memegang keyakinan bahwa Al-Qur’an bukan makhluk. Al-Qur’an adalah kalam Ilahi. Ratusan ulama pergi meninggalkan Bagdad dengan alasan keadaan darurat membolehkan mereka pergi untuk menghindari siksaan. Jika semua ulama saat itu berpikiran seperti itu, maka siapa yang akan memberi teladan kepada umat untuk teguh memegang keyakinan dan kebenaran. Maka Imam Ahmad merasa jika ikut pergi juga ia akan berdosa. Imam Ahmad tetap berada di Bagdad mempertahankan keyakinan dan kebenaran meskipun harus menghadapi siksaan yang tidak ringan bahkan bisa berujung pada kematian. Sama dengan kita saat ini. Jika aku yang telah belajar di Al Azhar sampai merelakan isteriku menyuap maka bagaimana dengan mereka yang tidak belajar agama sama sekali. Suap menyuap adalah perbuatan yang diharamkan dengan tegas oleh Baginda Nabi. Beliau bersabda, ‘Arraasyi wal murtasyi fin naar!’ Artinya, orang yang menyuap dan disuap masuk neraka! Isteriku, hidup di dunia ini bukan segalanya. Jika kita tidak bisa lama hidup bersama di dunia, maka insya Allah kehidupan akherat akan kekal abadi. Jadi, kumohon isteriku jangan kau lakukan itu! Aku tidak rela, demi Allah, aku tidak rela!”
Aisha tersedu-sedu mendengar penjelasanku. Dalam tangisnya ia berkata dengan penuh penyesalan, “Astaghfirullah…astaghfirullaahal adhiim!” Paman Eqbal ikut sedih dan meneteskan air mata.
“Aisha isteriku, apakah kau benar-benar mencintaiku?” tanyaku.
Aisha menganggukkan kepala.
“Aku juga sangat mencintaimu. Dan aku tak ingin kita yang sekarang ini saling mencintai kelak di akhirat menjadi orang yang saling membenci dan saling memusuhi.”
“Apa maksudmu? Apakah ada dua orang yang di dunia saling mencintai di akhirat justru saling memusuhi?” tanyanya.
“Jika cinta keduanya tidak berlandaskan ketakwaan kepada Allah maka keduanya bisa saling bermusuhan kelak di akhirat. Apalagi jika cinta keduanya justru menyebabkan terjadinya perbuatan maksiat baik kecil maupun besar. Tentu kelak mereka berdua akan bertengkar di akhirat. Seseorang yang sangat mencintai kekasihnya sering melakukan apa saja demi kekasihnya. Tak peduli pada apa pun juga. Terkadang juga tidak peduli pada pertimbangan dosa atau tidak dosa. Jika yang dilakukan adalah dosa tentu akan menyebabkan keduanya akan bermusuhan kelak di akhirat. Sebab mereka akan berseteru di hadapan pengadilan Allah Swt. Inilah yang telah diperingatkan oleh Allah Swt dalam surat Az Zuhruf ayat 67: ‘Orang-orang yang akrab saling kasih mengasihi, pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa.’ Isteriku, aku tak ingin kita yang sekarang ini saling menyayangi dan saling mencintai kelak di akhirat justru menjadi musuh dan seteru. Aku ingin kelak di akhirat kita tetap menjadi sepasang kekasih yang dimuliakan oleh Allah Swt. Aku tak menginginkan yang lain kecuali itu isteriku. Hidup dan mati sudah ada ajalnya. Allahlah yang menentukan bukan keluarga Noura juga bukan hakim pengadilan itu. Jika memang kematianku ada di tiang gantungan itu bukan suatu hal yang harus ditakutkan. Beribu-ribu sebab tapi kematian adalah satu yaitu kematian. Yang membedakan rasanya seseorang mereguk kematian adalah besarnya ridha Tuhan kepadanya. Isteriku, aku sangat mencintaimu. Aku tak ingin kehilangan dirimu di dunia ini dan aku lebih tak ingin kehilangan dirimu di akhirat nanti. Satu-satunya jalan yang harus kita tempuh agar kita tetap bersama dan tidak kehilangan adalah bertakwa dengan sepenuh takwa kepada Allah Azza Wa Jalla.”
Tangis Aisha semakin menjadi-jadi.
“Ka…kau benar Suamiku, terima kasih kau telah mengingatkan diriku. Sungguh beruntung aku memiliki suami seperti dirimu. Aku mencintaimu suamiku. Aku mencintaimu karena kau adalah suamiku. Aku juga mencintaimu karena Allah Swt. Ayat yang kau baca dan kau jelaskan kandungannya adalah satu ayat cinta di antara sekian juta ayat-ayat cinta yang diwahyukan Allah kepada manusia. Keteguhan imanmu mencintai kebenaran, ketakwaan dan kesucian dalam hidup adalah juga ayat cinta yang dianugerahkan Tuhan kepadaku dan kepada anak dalam kandunganku. Aku berjanji akan setia menempatkan cinta yang kita bina ini di dalam cahaya kerelaan-Nya.”
Kalimat-kalimat yang terucap dari mulut Aisha menjadi penyejuk jiwa yang tiada pernah kurasa sebelumnya. Ia seorang perempuan yang lunak hatinya dan bersih nuraninya.
“Kisah percintaan kalian membuat hatiku sangat terharu. Aisha, memiliki rasa cinta dan kesetiaan pada suami yang luar biasa. Kau seperti ibumu. Kau mewarisi kelembutan hati seperti nenekmu yang asli Palestina. Jika beliau masih ada pasti akan sangat bangga memiliki cucu sepertimu. Dan kau Fahri, aku belum pernah melihat seorang lelaki yang seteguh dirimu dan sekuat dirimu dalam bertanggung jawab mempertahankan cinta suci di dunia dan di akhirat. Kau benar, hidup yang sebenarnya adalah hidup di akhirat. Hidup yang kekal abadi tiada penghabisannya. Sesungguhnya sore ini aku mendapatkan nasihat agung yang tiada ternilai harganya.”
Azan berkumandang dan kami bersiap untuk buka. Sambil menjawab azan, lirih kudengar Aisha berdoa, “Ya Allah kekalkan cinta kami di dunia dan di akhirat. Ya Allah masukkan kami ke dalam surga Firdaus-Mu agar kami dapat terus bercinta selama-lamanya. Amin.”
Setelah mereka pulang di dalam sel penjara aku menyatukan diri dalam rengkuhan tangan Tuhan. Meskipun berada di dalam penjara aku masih merasakan kenikmatan-kenikmatan yang kelihatannya biasa-biasa namun luar biasa agungnya. Tuhan masih memberikan sentuhan cinta dan kasih sayang-Nya. Aku tiada kuasa berbuat apa-apa kecuali meletakkan kening bersujud kepada-Nya.
—
Ilahi, setiap kali,
bila kurenungkan kemurahanMu
yang begitu sederhana mendalam
akupun tergugu
dan membulatkan sembahku padaMu (*1*)
—
Hari raya Idul Fitri tiba. Aku merayakannya di dalam penjara berteman duka dan air mata. Tidak seperti hari raya yang telah lalu. Aku tidak bisa berbicara langsung dengan kedua orang tua di Indonesia. Aku hanya berpesan kepada Aisha agar minta tolong kepada Rudi membelikan kartu lebaran di Attaba dan mengirimnya tanpa memberitahukan keadaanku sebenarnya. Aku tak ingin membuat mereka berdua berduka tiada terkira. Aku telah berpesan pada Ketua PPMI agar jika ada teman mahasiswa dari Jawa pulang berkenan mampir ke rumah orang tuaku dan menceritakan masalah yang menimpaku dengan baik dan bijaksana.
Yang sedikit mengurangi kesedihanku pada hari raya itu adalah kunjungan yang datang silih berganti dari pagi sampai sore. Pagi sekali, tak lama setelah shalat Ied selesai Aisha, paman Eqbal dan bibi Sarah menjenguk. Setelah itu teman-teman satu rumah alias Rudi dkk. Lalu Mas Khalid dan anak buahnya. Ketua Kelompok Studi Walisongo (KSW) dan bala kurawanya. Takmir masjid Indonesia. Beberapa staf KBRI yang rendah hati. Teman-teman S2 dan S3. Dan beberapa kenalan lainnya.
Yang cukup mengejutkan diriku adalah kunjungan Nurul bersama Ustadz Jalal dan isterinya. Nurul menyampaikan rasa terima kasihnya atas surat yang aku tulis untuknya. Dia minta doanya tiga hari lagi akan melangsungkan akad nikah dengan salah seorang mahasiswa Indonesia.
“Siapa dia calon suamimu yang beruntung itu, kalau aku boleh tahu?” Tanyaku pada Nurul. Dia menundukkan kepala dan dia diam saja. Malu.
“Dia juga sedang menulis tesis. Juga kawan dekatmu.” Kata Ustadz Jalal menanggapi pertanyaanku. Aku berpikir sesaat mencari seseorang yang diisyaratkan oleh Ustadz Jalal.
“Apakah dia itu Mas Khalid?” tebakku.
“Tebakkanmu tidak salah,” jawab Ustadz Jalal.
“Dia orang yang shaleh, baik dan memiliki karakter dan dedikasi tinggi.” kataku.
“Tapi cinta pertama sangat susah dilupakan.” Lirih Nurul.
“Sekali lagi cinta sejati adalah yang telah diikat dengan tali suci pernikahan. Jadikanlah Mas Khalid sebagai cinta pertama dan terakhirmu.” pelanku.
“Insya Allah, aku sedang berusaha untuk melakukan itu dengan segenap usaha. Doakanlah pernikahan kami barakah, dan kami bahagia dan menemukan mawaddah,” lirih Nurul.
“Sama-sama. Kita saling mendoakan,” jawabku.
Aku bahagia mendapat kunjungan yang membawa berita baik itu. Mas Khalid memang pasangan yang cocok untuk Nurul. Keduanya sama-sama berasal dari keluarga pesantren. Dan kepiawaian Mas Khalid dalam membaca kitab kuning ala pesantren salaf akan sangat berguna bagi pengembangan pesantren milik ayah Nurul. Mas Khalid bisa menjadi pengasuh pesantren yang baik. Dalam banyak acara diskusi di Cairo dia paling sering diminta untuk memimpin doa. Doanya panjang namun mampu membuat orang meneteskan air mata di hadapan Tuhannya.
Dan yang tak kalah bahagianya hatiku adalah kunjungan Syaikh Prof. Dr. Abdul Ghafur Ja’far bersama puteranya yang bernama Umar. Beliau berpesan agar aku bersabar dan tidak pernah putus asa sedetikpun atas datangnya rahmat Allah Swt. Beliau meminta maaf atas ketidakberdayaan beliau mempertahankan diriku atas pengeluaranku dari Al Azhar. Beliau juga menjelaskan bahwa sebenarnya Al Azhar mendapatkan tekanan dari keamanan untuk melakukan hal itu padaku. Sebelum pulang beliau memelukku erat-erat lalu mengecup ubun-ubun kepalaku.
“Ingat baik-baik Anakku, wa man yattaqillaha yaj’al lahu makhraja!”(*2*) Pesan beliau kepadaku. Kunjungan Guru Besar Tafsir Universitas Al Azhar itu membuat diriku memang benar-benar terasa ada. Orang sepenting dia masih berkenan menengokku di penjara. Sungguh pengalaman yang tak akan terlupa.
Menjelang Isya’, Syaikh Ahmad dan isterinya, Ummu Aiman datang. Syaikh Ahmad sedikit membawa berita baik untukku. Yaitu saudara sepupunya, Ridha Shahata, yang ditugaskan keluar Mesir pulang lebih awal dari jadwal yang ditetapkan karena dia telah menyelesaikan semua tugasnya dengan baik. Ridha Shahata berjanji akan membantu sebisanya. Yang paling penting menurut Ridha Shahata dari cerita Syaikh Ahmad adalah bagaimana caranya Maria bisa memberikan kesaksiannya di depan pengadilan. Aku lebih banyak diam, dalam hati kukatakan, ‘Maria sangat susah diharapkan, jika memang aku harus mati di tiang gantungan berarti memang Tuhan berkehendak demikian.’
Sejujurnya kukatakan, selama merayakan Iedul Fitri di Mesir aku belum pernah mendapatkan kunjungan sebanyak itu. Meskipun berada di penjara, namun hari raya yang kulewati cukup mengesankan. Aku ikhlas seandainya hari raya yang aku lewati adalah hari raya terakhirku di dunia.
Foot note :
(1) Diadaptasi dengan sedikit perubahan dari puisi berjudul “Saat-saat Sadar” karya penyair Belgia, Emile Verhaeren (1855-1916), yang sangat terkenal pasca perang dunia pertama.
(2) Dan siapa yang bertakwa kepada Allah maka dia akan menjadikan untuknya jalan keluar.
——————-
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Ayat-Ayat Cinta merupakan novel berbahasa Indonesia karangan Habiburrahman El Shirazy yang diterbitkan pertama kali pada tahun 2004 melalui penerbit Basmala&Republika. Novel ini berisikan 418 halaman dan sukses menjadi salah satu novel fiksi best seller di Indonesia yang dicetak sampai dengan 160 ribu eksemplar hanya dalam jangka waktu tiga tahun. Ayat-Ayat Cinta juga merupakan pelopor karya sastra islami yang sedang dalam masa kebangkitannya dewasa ini.